Beranda | Artikel
Celaan Bagi Orang yang Diperbudak Dunia - Kitabul Jami Bab 3 – Hadits 2
Kamis, 11 Maret 2021

Celaan Bagi Orang yang Diperbudak Dunia

Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “تَعِـسَ عَـبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَـمِ وَالْقَطِـيْفَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ.” أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Celaka budak dinar dan budak dirham, dan budak kain qathīfah. Kalau diberikan dunia tersebut (entah dinar, dirham atau kain yang lembut tersebut) dia senang dan kalau tidak mendapatkan dunia tersebut diapun tidak suka (marah).” (HR. Bukhari)

Pembaca yang dirahmati Allãh . Qathīfah adalah kain yang lembut/halus, seperti kain yang terbuat dari sutra dan ada beludrunya atau semisalnya.

Hadits ini adalah ungkapan yang sangat indah dari Nabi ﷺ. Nabi ﷺ memberitahukan kepada kita bahwasanya, ternyata, di antara hamba-hamba Allãh, ada yang disebut/dinamakan oleh Nabi ﷺ dengan nama hamba dinar, hamba dirham, hamba al-qathīfah (hamba yang pekerjaannya hanya mencari kain yang indah).

Kenapa dinamakan “hamba”? Karena kehidupan mereka benar-benar demi dinar dan dirham. Tujuan kehidupan mereka benar-benar untuk mencari dunia semata. Dia menjadi penyembah harta dan hartalah yang mengaturnya. Dia menyangka tatkala mengumpulkan harta, dia akan menguasai dan mengatur harta tersebut. Namun pada hakikatnya, sewaktu mengumpulkan harta tersebut dia sebenarnya sedang menyembah harta. Hartalah yang  mengatur kehidupannya. Kalau harta mengatakan, “Kau ingin meraihku, maka tinggalkanlah shalat!,” maka dia akan meninggalkan shalat.

“Kau bisa meraihku tapi kau harus durhaka kepada orangtua,” maka dia akan durhaka kepada orangtua.

“Kau bisa mendapatkan aku tapi kau harus memutuskan tali silaturahmi atau bermusuhan dengan sahabatmu,” maka dia akan lakukan.

Para penyembah harta seperti ini rela ribut dengan orangtua dan teman, meninggalkan shalat, berbuat zhalim, dan sebagainya demi mendapatkan secercah dinar dan dirham. Oleh karenanya, orang seperti ini kehidupannya diatur oleh harta.

Maka orang seperti ini disebut oleh Nabi ﷺ dengan تَعِسَ (celaka). Mengapa? Karena dia bodoh. Kehidupan dia ujungnya hanya ingin mencari dunia. Dia lupa bahwasanya dunia hanya sementara dan ada kehidupan yang abadi di akhirat kelak.

Para pembaca yang dirahmati Allãh . Kalau harta mengatakan, “Tunda sholat!”, maka dia akan tunda shalat. Dengan demikian berarti dia penyembah dinar bukan penyembah Allãh . Dia menyangka menguasai dinar padahal dinar yang menguasainya. Kehidupan dia orientasinya hanyalah dunia.

فَإِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ

“Kalau dia diberi harta dia senang.”

Karena itulah yang dia cari.

وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

“Kalau tidak mendapat harta (sementara sudah kecapekan mencari harta) maka dia marah.”

Karena orientasinya adalah dunia, maka ini sama seperti sifat orang-orang munafik yang Allãh sebutkan dalam surat At-Taubah. Kata Allāh ,

وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

“Di antara mereka ada yang mencela engkau (wahai Muhammad) tatkala engkau membagi-bagikan harta sedekah (zakat). Kalau mereka diberi (melihat dari) harta tersebut mereka senang (gembira). Dan jika merekatidak diberi dari harta tersebut mereka pun marah.” (QS. At-Taubah:58)

Orang-orang munafik mencela Nabi ﷺ dalam pembagian harta. Mereka mencela Nabi ﷺ bukan karena mereka memiliki ide yang lebih bagus dalam masalah pembagian (distribusi), melainkan karena mereka tidak mendapat bagian. Jadi mereka marah karena tidak dapat bagian.

Hal seperti ini kadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka menampakkan kemarahan (pencelaan) seakan-akan karena Allãh, tetapi ternyata bukan, mereka marah tidak lain kecuali karena mereka tidak dapat bagian. Oleh karenanya, seseorang hendaknya menjauhkan diri dari sifat-sifat munafik dan berusaha untuk beramal yang orientasinya bukan dunia tetapi karena Allãh .

Bahkan jika seorang bekerja dalam kegiatan agama, misalnya sebagai ustadz, muadzdzin, pengajar TPA, penulis buku-buku agama, berdakwah, dan tugas agama apa saja lalu dia mendapat upah/gaji. Kalau dia menjadikan upah/gaji ini sebagai tujuan utamanya (mengumpulkan harta dengan wasilah agama), maka ini sangat tercela. Sesungguhnya dia adalah hamba dinar dan hamba dirham.

Akan tetapi jika dia menerima upah tersebut dari kegiatan agama yang dia kerjakan dan hanya sebagai sarana agar dia bisa terus beribadah kepada Allãh, memenuhi kebutuhan anak dan istrinya dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allãh, maka ini in syã Allãh sama sekali tidak tercela, niatnya tulus.

Ingat, asal niatnya harus disambung, jangan berhenti kepada hanya ingin memiliki dunia. Tidak. Tetapi niatnya harus bersambung sehingga dunia tersebut hanyalah sebagai sarana untuk bisa terus beribadah kepada Allãh, menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai hamba di atas muka bumi ini.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy rahimahullah berkata :

وَأَمَّا الْعَمَلُ لأَجْلِ الدُّنْيَا وَتَحْصِيْلِ أَغْرَاضِهَا:

فَإِنْ كَانَتْ إِرَادَةُ الْعَبْدِ كُلُّهَا لِهَذا الْمَقْصِدِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ لِوَجْهِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ، فَهَذَا لَيْسَ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيْبٍ. وَهَذَا الْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْوَصْفِ لاَ يَصْدُرُ مِنْ مُؤْمِنٍ؛ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ وَلَوْ كَانَ ضَعِيْفَ الإِيْمَانِ، لاَ بُدَّ أَنْ يُرِيْدَ اللهَ وَالدَّارَ الآخِرَةَ. وَأَمَّا مَنْ عَمِلَ الْعَمَلَ لِوَجْهِ اللهِ وَلِأَجْلِ الدُّنْيَا، وَالْقَصْدَانِ مُتَسَاوِيَانِ أَوْ مُتَقَارِبَانِ، فَهَذَا وَإِنْ كَانَ مُؤْمِنًا فَإِنَّهُ نَاقِصُ الْإِيْمَانِ وَالتَّوْحِيْدِ وَالإِخْلاَصِ، وَعَمُلُهُ نَاقِصٌ لِفَقْدِهِ كَمَالَ الإِخْلاَصِ. وَأَمَّا مَنْ عَمِلَ ِللهِ وَحْدَهُ وَأَخْلَصَ فِي عَمَلِهِ إِخْلاَصًا تَامًّا، وَلَكِنَّهُ يَأْخُذُ عَلَى عَمَلِهِ جُعْلاً وَمَعْلُوْمًا يَسْتَعِيْنُ بِهِ عَلَى الْعَمَلِ وَالدِّيْنِ، كَالْجُعَالاَتِ الَّتِي تُجْعَلُ عَلَى أَعْمَالِ الْخَيْرِ، وَكَالْمُجَاهِدِ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَى جِهَادِهِ غَنِيْمَةٌ أَوْ رِزْقٌ، وَكَالأَوْقَافِ الَّتِي تُجْعَلُ عَلَى الْمَسَاجِدِ وَالْمَدَارِسِ وَالْوَظَائِفِ الدِّيْنِيَّةِ لَمَنْ يَقُوْمُ بِهَا، فَهَذَا لاَ يَضُرُّ أَخْذُهُ فِي إِيْمَانِ الْعَبْدِ وَتَوْحِيْدِهِ لِكَوْنِهِ لَمْ يُرِدْ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا أَرَادَ الدِّيْنَ وَقَصَدَ أَنْ يَكُوْنَ مَا حَصَلَ لَهُ مُعِيْنًا لَهُ عَلَى قِيَامِ الدِّيْنِ

“Adapun beramal untuk dunia dan memperoleh perkara-perkara dunia, maka jika niat hamba seluruhnya adalah untuk hal ini dan sama sekali tidak berniat mencari wajah Allah dan kampung akhirat, maka orang yang seperti ini tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat. Dan amal yang seperti ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Karena seorang mukmin meskipun lemah imannya pasti ada niatnya untuk Allah dan kampung akhirat.

Adapun orang yang beramal berniat karena wajah Allah dan juga berniat karena dunia, sementara kedua niatnya sama kuatnya atau mendekati kekuatan keduanya maka orang ini meskipun ia seorang mukmin akan tetapi adalah adalah seorang yang kurang imannya, kurang tauhidnya, dan kurang keikhlasannya. Amalnya kurang dikarenakan tidak adanya kesempurnaan keikhlasannya.

Adapun seseorang yang beramal karena Allah semata dan ia ikhlash dalam amalannya dengan keikhlasan yang sempurna, akan tetapi ia mengambil upah atas amalnya tersebut atau gaji yang ia gunakan untuk menolongya untuk beramal dan untuk agamanya, seperti gaji-gaji yang dikhusukan untuk amal-amal kebajikan, dan seperti seorang mujahid yang karena jihadnya maka ia memperoleh gonimah dan rizki, demikian juga harta-harta wakaf yang disalurkan untuk orang-orang yang mengurusi mesjid-mesjid, pondok-pondok, dan kegiatan-kegiatan agama lainnya. Maka menerima upah-upah seperti ini sama sekali tidak memudorotkan iman seorang hamba dan tauhidnya, karena ia tidak menginginkan dunia dengan amal shalihnya. Tujuannya adalah agama, dan ia bertujuan untuk menjadikan apa yang ia peroleh untuk membantunya dalam menjalankan agama.” (Al-Qoul as-Sadid hal 130)

Semoga Allãh menjadikan kita hamba Allãh yang hakiki, bukan menjadi hamba dinar, hamba dirham, hamba dollar, hamba rupiah atau hamba dunia-dunia yang lainnya.

(Anda bisa dapatkan buku Syarah Kitabul Jami‘ di link berikut: bit.ly/3bn8FHB )


Artikel asli: https://firanda.com/4675-celaan-bagi-orang-yang-diperbudak-dunia.html